Kadang perjalanan bukan cuma soal tempat yang kita datangi, tapi juga siapa yang kita temui di sepanjang jalan.
Di sebuah pagi Semarang yang riuh namun ramah, langkah kami terhenti di depan deretan toko tua. Lorong-lorong klasik seakan berbisik, menyimpan cerita ratusan tahun tentang doa, kudapan, dan kehidupan. Dari sinilah perjalanan Lampah Konten (LAKON) v2 dimulai. Dirancang oleh GenPI Squad, program ini mengajak kami menyusuri jejak heritage dan kuliner Pecinan. Kisah yang tetap hidup di antara dupa, rebung lumpia, dan ramuan obat tradisional.
Jejak Doa di Klenteng
Di Klenteng Tay Kak Sie, aroma dupa naik bersama doa. Dinding merah, ukiran naga, dan cahaya lilin seolah mengantar kami menembus waktu. Beberapa peserta memberanikan diri mencoba ciam si, mengguncang bambu tipis hingga sebatang jatuh, membawa pesan yang dipercaya bisa menjadi petunjuk. Ada rasa haru, ada tawa kecil: pengalaman spiritual sederhana yang menggetarkan.
Rasa yang Tak Pernah Usang
Dari ruang doa, kami bergeser ke ruang rasa. Lumpia Gang Lombok menyambut dengan aroma khas yang langsung menggoda. Kuliner legendaris ini kini dikelola oleh generasi keempat, menjaga cita rasa yang telah melegenda. Kulitnya tetap renyah, isian rebungnya lembut tanpa aroma menyengat, berpadu dengan saus kental manis-pedas khas Semarang. Setiap gigitan menghadirkan rasa akrab, hangat, dan tak tergantikan seperti pertemuan lama yang selalu dirindukan.
Warisan Obat Tradisional
Tak jauh dari sana, Apotek Cina Panca Jaya berdiri dengan pintu kayu tuanya. Dari rak kaca, botol berisi ramuan herbal masih tertata seperti tahun-tahun silam. Aroma akar dan rempah menyelinap ke hidung, membawa kami pada masa ketika obat-obatan diracik dengan tangan dan keyakinan. Waktu seakan melambat, menyisakan rasa hormat pada pengetahuan lama yang bertahan hingga kini.
Jejak Kuliner & Arsitektur
Langkah kami juga singgah di Pia Moon Cake dan Klenteng Hok Bio. Dari jajanan klasik hingga arsitektur oriental, setiap titik adalah pintu kecil menuju ingatan yang lebih besar: bahwa Semarang tidak hanya bergerak maju, tapi juga menjaga warisan yang membentuknya.
Perjalanan ini juga mempertemukan kami dengan teman baru, pemuda warlok Pecinan yang beretnis Tionghoa. Dari dialah kami belajar tentang pengucapan khas, tradisi yang masih dijaga, hingga cerita-cerita yang tak selalu tertulis di buku sejarah. Momen sederhana itu mengingatkan, bahwa LAKON bukan sekadar wisata, melainkan ruang belajar tentang budaya dan kemanusiaan.
Setiap kota punya cerita, setiap langkah punya makna.Yuk! ikut melangkah di edisi berikutnya, karena kisah itu akan lebih indah bila kamu yang mengalaminya.