4 September 2017 nanti, desa Tegal Sambi Jepara akan punya gawe besar, yaitu PERANG OBOR. Salah satu kegiatan budaya yang paling dinanti di Jepara karena menyedot banyak perhatian wisatawan dari luar Jepara. Siapa yang tak penasaran melihat perang api di era modern begini, yang tempatnya masih bisa dijangkau dan bukan desa terpencil dalam hutan yang aksesnya sulit. Di Jepara saja.

Perang obor. Bagi teman-teman yang baru pertama kali mendengarnya, saya akan terangkan sedikit tentangnya. Bisa juga membaca posting pertamasaya tentang Tradisi Perang Obor Jepara
Perang obor adalah pertempuran para warga desa tegal Sambi dengan cara saling memukulkan tongkat yang apinya menyala, meletik dan bisa menyebar tatkala dipukulkan ke lawan. Tongkat api dibuat dari klaras dan blarak: daun kelapa kering dan daun pisang kering. Kedua bahan diikat menjadi semacam tongkat perang. Saat dimainkan, tongkat akan dinyalakan sehingga apinya berkobar-kobar. Peserta perang akan saling pukul sehingga api akan menyebar. Jika melihat fotonya memang terlihat seram, karena api berkobar-kobar di sana-sini. Lokasi saling pukul pun di sepanjang arena yang berupa jalan.

Apa sih maksud dari Perang Obor ini?
Apa sejarah Perang Obor?
Filosofi apa yang terkandung?
Berbahayakah bagi penonton?
Bagaimana cara menghilangkan luka bakar jika terkena?
Apa saja yang disiapkan panitia untuk semua penonton?
Banyak juga pertanyaan yang saya terima dan rangkum. Bisa panjang banget posting saya. Tapi untungnya saya sudah punya beberapa postingan mengenai Perang Obor di blog Susindra.

SEJARAH PERANG OBOR

Pada zaman dahulu, (dipercaya sekitar abad XVI), de desa Tegal Sambi ada seorang petani dan tokoh masyarakat yang kaya raya bernama Kyai Babadan. Kyai Babadan selain sukses bertani, juga memiliki ternak yang sangat banyak. Sapi dan kerbaunya mulai kurang terurus. Tetangga sebelahnya, Ki Gemblong yang mau membantunya mengurus ternak. Dan ternyata, di tangan Ki Gemblong, ternak Kyai Babadan beranak pinak dengan cepat sehingga jumlahnya semakin bertambah. Ki Gemblong juga rajin memandikan ternaknya di sungai sehingga Kyai Babadan semakin senang hatinya.
Suatu hari, Ki Gemblong melihat banyak ikan dan udang di sungai. Dia berhasil menangkap beberapa dan memanggangnya. Rasanya sangat lezat. Ki Gemblong pun menjadi abai pada ternak-ternaknya karena asyik menangkap dan menjual ikan di sungai. Kyai Babadan mengetahui hal itu dan menjadi sangat marah. Apalagi ternak yang dititipkan pada Ki Gemblong menjadi kurus dan sakit-sakitan. Dia segera mencari Ki Gemblong dan menemukannya sedang asyik membakar ikan di tepi sungai. Mereka terlibat pertengkaran dan dalam murkanya, Kyai Babadan memukul Ki Gemblong dengan blarak (daun kelapa kering) yang terbakar ujungnya. Ki Gemblong tak mau kalah. Dia membalas dengan Blarak atau klaras (daun pisang kering) yang berada di sekitar mereka. Keduanya saling kejar dan saling memukul tanpa memperhatikan sekitar. Ternyata api telah merambat ke mana-mana dan membakar kandang. Ajaib, sapi dan kerbau yang sakit-sakitan menjadi sehat dan gemuk. Maka mereka pun tetap meneruskan pertempuran api mereka, namun kali ini tanpa rasa amarah dan dendam. Semua ternak milik Kyai Babadan dan ternak para tetangga di desa Tegal Sambi menjadi juga sembuh. Sejak saat itulah diadakan ritual saling memukulkan api dari blarak dan klaras yang akhirnya diberi nama Perang Obor. Sumber: Makna Perang Obor
Ritual Kyai Babadan dan Ki gemblong saling pukul obor api masih dilestarikan sampai sekarang. Setidaknya ada 50 warga yang berperan sebagai prajurit perang. Mereka memakai Pakaian apa adanya dan beberapa ditutupi caping sebagai pelindung kepala dari pukulan obor. Jika terpukul, lumayan sakit lho. Karena batang daun pisang bagian bawah berada di luar obor. Jadi, yang berbahaya bukan apinya tetapi terpukul batang obornya.

Bagaimana dengan luka bakar dari Perang Obor?

Sejauh ini, masih aman. Bahan obor dari klaras dan blarak langsung terbakar habis saat beterbangan. Panitia juga sudah menyiapkan minyak luka bakar turun temurun yang akan menyembuhkan luka bakar dengan cepat. Namanya minyah londoh.
Oh ya, sekadar info saja, persiapan Perang Obor dilakukan dalam 1 tahun. Setiap hari Jumat, di rumah kepala desa selalu ada doa bersama. Bunga yang dipakai berdoa akan disimpan dan mongering. Bunga yang dikumpulkan selama setahun digunakan pada hari H.
Artikel: susindra.com
Foto : Yasir

Leave a Reply

Your email Alamat will not be published. Required fields are marked *