Ada perjalanan yang terasa seperti membuka buku lama, ada pula yang membuat kita menulis halaman baru. Plesiran GenPI Jawa Tengah di Ambarawa menjadi keduanya.
Sejak pagi, peserta berkumpul dengan wajah penasaran. Ada yang baru bertemu, ada yang sudah akrab sejak kegiatan sebelumnya. Begitu langkah pertama diambil, semuanya berubah menjadi satu rombongan yang ingin mendengar dan menemukan cerita.
Gerbang ke Masa Lalu
Perjalanan dimulai dari Benteng Fort Willem I. Bangunan kolonial ini berdiri gagah, menyimpan jejak waktu yang panjang. Saat melewati gerbangnya, udara terasa lebih teduh, langkah melambat, dan mata mulai mencari detail-detail kecil yang tersisa dari masa lampau.

Lorong-lorong panjang memantulkan suara langkah dengan ritme yang berbeda. Di bawah beranda yang sejuk, peserta mengamati tata ruang benteng, fungsi-fungsi lamanya, dan usaha pelestarian yang membuatnya tetap bertahan sampai hari ini. Rasa ingin tahu tumbuh pelan-pelan.
Hangatnya Tradisi di Setiap Gigitan
Dari sejarah, rombongan bergerak menuju aroma yang lebih akrab. Srabi Ngampin menjadi persinggahan yang menyenangkan sejak awal.
Sepanjang Jalan Ngampin, deretan penjual serabi berjajar di bawah kepulan asap tungku kayu. Cara memasaknya masih tradisional, menghasilkan aroma smoky yang khas. Ukurannya kecil, teksturnya lembut, dan disiram kuah santan manis yang membuat rasanya langsung dekat di lidah.

Di balik tungku yang menyala, hidup cerita lama: masa ketika anak-anak muda datang berkelompok menjelang Ramadan. Mereka pura-pura membeli serabi, padahal saling melirik dan mencari perhatian. Kisah ringan yang membuat Srabi Ngampin punya tempat khusus dalam ingatan warga.
Ruang Teduh di Kaki Ungaran
Setelah menikmati serabi, perjalanan berlanjut ke Goa Maria Kerep. Begitu memasuki halamannya, suasana berubah menjadi lebih tenang. Angin gunung dan pepohonan membuat langkah rombongan otomatis melambat, seakan tempat ini mengajak semua orang bernapas sedikit lebih santai.

Rombongan diajak menyusuri jalur “Jalan Salib”, ditemani seorang suster yang memandu dengan tenang. Ia bercerita tentang setiap titik perhentian, latar sejarahnya, dan bagaimana jalur ini menjadi bagian dari tradisi umat di sekitar. Penjelasannya lembut dan mudah diikuti.
Panorama Penutup yang Menenangkan
Rawa Pening menjadi penutup yang manis. Air yang tenang, pepohonan yang memantulkan bayangan, dan siluet gunung di kejauhan menciptakan pemandangan yang lapang. Peserta menikmati makan siang di warung terapung, mencicipi hidangan sederhana yang terasa lebih nikmat karena angin dan suasana yang damai.

Tak lama kemudian, kereta kluthuk melintas dan mengeluarkan suara khasnya. Semua orang refleks mengangkat kamera dan inilah momen singkat yang membuat banyak peserta tersenyum.
Perjalanan hari itu mengalir seperti cerita yang ditulis bersama. Benteng memberi jejak masa lalu, Srabi Ngampin membawa kehangatan tradisi, Goa Maria memberi ruang teduh, dan Rawa Pening menutup dengan ketenangan.
Di antara semua itu, percakapan kecil, tawa yang muncul tiba-tiba, dan rasa kebersamaan membuat pengalaman ini terasa lengkap.
Plesiran Ambarawa menjadi cara sederhana untuk melihat Jawa Tengah lewat langkah yang pelan dan penuh rasa. Peserta pulang membawa lebih dari foto, tapi juga ada cerita yang tertinggal.
Dan seperti perjalanan yang berkesan yang akan selalu muncul keinginan untuk kembali: entah menemukan kisah baru, atau sekadar merasakan lagi cara Ambarawa menyapa dengan lembut dan tulus.

