Sabtu pagi, GenPI Jawa Tengah menggelar kegiatan bertajuk Tilik Batik edisi Zie Batik Kampung Malon, Semarang. Dalam nuansa yang tenang dan penuh kehangatan, kami mengawali pagi dengan teh sereh hangat dan jajanan rebusan yang sehat dan nikmat. Perjumpaan kecil itu terasa akrab, seolah bukan pertama kalinya.
![]() |
![]() |
Kami kemudian diajak masuk ke ruang workshop, ruang sederhana dengan jendela kayu dan aroma khas malam (bahan batik) yang menguar hangat, seolah menyambut kami dengan cerita. Di sana, Pak Heno, perintis Zie Batik, menyambut sambil bercerita banyak hal: tentang proses, perjuangan, dan warisan batik warna alam yang digagas bersama mendiang istrinya, Bu Zie.
Tak hanya kami, pagi itu ruang workshop juga dihangatkan oleh kehadiran para tamu istimewa. Ada Bu Deasy Ismalia, Kabid Kesenian Disbudpar Kota Semarang, juga perwakilan dari Diskominfo Kota Semarang yang ikut larut menyimak cerita dari balik warna. Denok Kenang Kota Semarang turut hadir, melangkah anggun menyatu dalam suasana, sementara lensa-lensa dari komunitas Fotografer Kota Lama sibuk menangkap momen: cahaya, warna, dan rasa yang tertinggal di tiap sudut ruang. Semua hadir, bukan sekadar melihat, tapi benar-benar turut merawat. Masing-masing dengan caranya menyulam kolaborasi kecil yang menguatkan, bahwa melestarikan budaya adalah kerja bersama.
Dari ruang itu, langkah kami berlanjut ke greenhouse dan kebun kecil yang rimbun. Di sinilah tumbuh tanaman Indigofera, si penghasil warna biru alami. Kami diajak melihat, meraba, bahkan mencoba langsung. Terus menggosok daunnya hingga keluar warna biru dari permukaan tangan kita yang teroksidasi dengan oksigen. Rasanya seperti menyaksikan sihir yang lembut, langsung dari alam.
![]() |
![]() |
Setelah itu, giliran kami untuk membatik. Mulai dari membuat pola, mencanting dengan tangan sendiri, hingga mewarnai kain dengan larutan warna indigo yang pekat namun menenangkan. Prosesnya pelan, penuh ketelitian, dan diam-diam menyenangkan. Ada tawa saat cantingnya bocor, ada bisik-bisik memuji pola satu sama lain, dan ada rasa bangga saat hasilnya mulai terlihat.
Kunjungan ditutup di galeri kecil tempat hasil-hasil batik digantung dan dipamerkan. Ada karya penuh warna, ada yang monokrom, tapi semua punya ruhnya masing-masing. Batik di sini bukan hanya produk, tapi juga narasi: tentang alam, tentang masyarakat, tentang semangat menjaga tanpa merusak.
Dari Tilik Batik, kami menyimak alam yang bersuara lewat warna, menyentuh sejarah dari kain yang dilukis tangan, mengalami proses membatik yang tak sekadar praktik tapi cara baru mengenal diri, merenungi pelan, lalu pulang dengan harapan agar budaya bisa dirawat, dengan cara yang lebih bijak dan penuh cinta.
Dan mungkin, di antara aroma malam dan bekas warna indigofera di ujung jari, tersimpan doa-doa kecil yang ingin tumbuh bersama bumi: yaaap perlahan, tulus, dan lestari.